Sejarah Geologi
dan Geomorfologi
Bandung Utara
Ceritanya panjang
sekali, sebab kita musti balik kembali ke masa silam, 20 ‑ 15 juta tahun yang Ialu, tatkala dataran tinggi Bandung niasih terletak di dasar
lautan. Pada waktu itu, pulau Jawa sebelah Utara masih merupakan samudera. Hanya bagian
Selatannya saja yang berujud tanah dataran dengan pesisirnya tak jauh di sebelah
Selatan Pengalengan sekarang. Beberapa pulau
volkanik terdapat di depan pantai itu. Sisa lapisan ‑ lapisan yang diendapkan 20 juta tahun yang Ialu, kini masih
bisa disaksikan di daerah Purwakarta dan Subang. Batuan ‑ batuan Napal dan
Gamping (karang) yang ditemukan mengandung fosil binatang laut Foraminifera,
seperti Cyoloclypeus dan Lepidecyclina (Kusumadinata, 1959).
Secara bertahap pantai laut Jawa yang semula terletak di Selatan
Pengalengan (Kabupaten Bandung), lama – lama bergeser makin ke Utara, tak jauh
dari Kota Bandung. Ini terjadi pada periode
revolusioner, di akhir jaman Miosen (25 - 14 juta tahun yang Ialu). Pergeseran pantai
Laut Jawa ke arah utara Bandung diakibatkan oleh pembentukan gunung (orogenese)
dan proses pelipatan lapisan bumi. Sedimen yang terlipat, kemudian muncul di
atas laut.
Masa berikutnya kembali mengalami periode istirahat, di mana kegiatan
volkanik dan sedimentasi cekungan dalam laut di Utara Bandung mengakibatkan
munculnya bukit bukit Selacau yang bentuknya mirip piramida.
Pada akhir Pliosen (dua juta tahun yang lalu) terjadi lagi periode
revolusioner berupa tekanan dari sedimen, hingga terjadi proses pembentukan
gunung, disusul menghilangnya Selacau.
Pada permulaan periode Plestosen (1 juta tahun yang lalu), beberapa
kegiatan volkanik di daerah Utara Bandung sempat membentuk kumpulan gunung api,
ukuran dasarnya sebesar 20 km dengan ketinggian, antara 2.000 - 3.000 Mtr.
Gunung ini dikenal
sebagai Gunung .Sunda, sebuah gunung raksasa dengan sebuah kaldera di
puncaknya. Sedangkan Gunung Burangrang
hanya merupakan parasit dari gunung itu (Prof.Dr.Th.H.F.Klompe,
"The Geology of Bandung-, 1956). Masih
pada periode Plestosen itu juga, Gn.Sunda runtuh diikuti oleh terjadinya
Patahan Lembang. Sebuah rekaman geologi dari periode itu, masih dapat dilihat
dalarn bentuk endapan binatang Vertebrata di penyayatan sungai Citarum sebelah
barat Batujajar, seperti yang diteraukan oleh Stehn dan Umbgrove (1929).
Pada jaman Holosen, 11 ribu tahun yang lalu, lahirlah Gunung
Tangkubanparahu sebagai anak dari kaldera Gunung.Sunda, dan gunungapi itu
menutupi bagian timur sisa gunungapi lama. Paling tidak gunung itu telah
mengalami 3 kali erupsi besar yang mengeluarkan lava dan abu yang menimpa
daerah sebelah utara Bandung.
Erupsi besar
kedua dari Gunung Tangkubanparahu, yang menurut Cerita Rakyat (Legenda) adalah
"perahu" yang tertelungkup ditendang Sangkuriang yang kesiangan,
terjadi 6.000 tahun yang lalu.
Adapun
muntahan dari erupsi besar kedua itu, tersebar di sebelah barat Ciumbuleuit
(Bandung) dan sebagian lagi sempat menyumbat sungai Citarum yang mengalir di
lembah Cimeta (utara Padalarang), sehingga terbentuklah "Danau
Bandung". Sebuah danau yang sering juga disebut oleh manusia jaman baheula
sebagai "Situ Hiang".
Baru sekitar
4000 - 3.000 tahun yang lewat, Danau Bandung mulai surut airnya dan muncullah
Dataran Tinggi Bandung. Danau itu mulai kering menyusut, tatkala sungai Citarum
yang tersumbat muntahan Gunung Tangkubanparahu atau Gunung Burangrang (?) bisa
bebas mengalir kembali, dengan menembus bukit - bukit Rajamandala (sebelah
barat Batujajar), melewati terowongan-alam Sanghiangtikoro.
Dataran tinggi Bandung yang terkenal akan kesuburannya, sekarang terletak ±
725 Mtr di atas permukaan laut, dikepung gunungapi dan di sebelah barat
terdapat bukit bukit batu gamping. Endapan batu gamping yang membentuk bukit -
bukit kapur Padalarang adalah bukti, bahwa daerah tersebut pernah terbenam di
dasar laut.
Luas dataran tinggi yang di masa silam pernah jadi Situ Hiang (Danau
Bandung), membentang dari Cicalengka di timur sampai Padalarang di arah barat,
sejauh kurang lebih 50 km. Dari bukit Dago di utara sampai ke batas Soreang -
Ciwidey di selatan berjarak 30 km. Kalau dihitung luas Danau Bandung
keseluruhan, hampir tiga kali lipat DKI Jakarta. Suatu wilayah yang insya’allah
bakal jadi daerah ‘”Bandung Raya” di kemudian hari. Sekedar ilustrasi tentang kedalaman Danau Bandung jaman baheula, yang
airnya menggenangi sebagian besar Kota Bandung sekarang; tepian sebelah utara
terletak di Jalan Siliwangi, utara Kampus ITB sekarang. Tinggi air di Stasiun Kereta Api
diperkirakan 25 meter, sedangkan Alun-alun Bandung terbenam 30 meter. Menurut
Geologiwan S.Darsoprajitno, kedalaman air 30 meter dapat mengapungkan kapal
laut sebesar lebih dari 50.000 ton.
Gambaran dari luas Situ Hiang atau si Danau Bandung dapat kita lihat pada
gambar di atas, di mana daerah berwarna biru muda adalah perkiraan luasnya
Danau Bandung, sementara daerah berwarna merah tua adalah luas kota Bandung
pada tahun 1981.
Bandung Bagian Selatan
Warna hijau dataran rendah, warna coklat dataran tinggi. Bandung
memang berada di daerah tinggian. Namun kalau diperhatikan morfologinya, maka
Bandung Selatan merupakan sebuah landaian. Bahkan terkesan mendatar. Morfologi
yang datar dan dikelilingi tinggian ini sering disebutkan sebagai Cekungan
Bandung (Bandung Basin). Batuan yang ada dibawa Bandung selatan ini
diperkirakan hasil dari pengendapan sebuah danau. Bandung Selatan memang
dahulu berupa danau. Bahkan sudah diselidiki endapannya yang menunjukkan bahwa
Danau Bandung ini dahulu terisi air.
Bandung
Danau Purba
Menurut
M.A.C. Dam (1994) the Late Quaternary Evolution of the Bandung Basin: endapan
terakhir (termuda) danau Bandung dg absolut dating C-14 berumur 16.000 tahun
yang lalu!
Diperkirakan
danau Bandung sudah tidak ada (kering) sejak 16.000 tahun yang lalu. Pak
Budi Brahmantyo seorang dosen ITB, yakin ketika manusia Dago Pakar atau Manusia
Pawon hidup (3 – 6 ribu th yl), dataran Bandung hanya tinggal rawa-rawa yang
luas, tetapi bukan danau. Hingga sekarang masih tersisa banyak ranca dan nama
daerah berawalan ranca (alias rawa) di cekungan Bandung.
Sejak jaman sejarah hingga sekarang memang belum ada
catatan yang mendeteksi adanya gempa bumi besar yang berpusat di sepanjang
Sesar Lembang. Namun
demikian dengan menggunakan data empiris, suatu retakan yang telah terbentuk
dengan panjang lebih dari 20 km dapat memicu gempa dengan magnitude 6,5 – 7,0
yang merusak. Satu catatan yang mungkin cukup mengkhawatirkan adalah adanya
gempabumi merusak pada tahun 1910 di Padalarang, yang boleh dikatakan berada
pada zona ujung barat Sesar Lembang yang bertemu dengan sesar aktif Cimandiri
yang berawal dari Palabuhanratu, Sukabumi.
Menurut Bapak Irwan Meilano, pakar Geodesi ITB, kecepatan laju geser dari
sesar lembang setiap tahun adalah 2 mm. Itu adalah hasil rata-rata, bisa lebih pada suatu
tempat, dan bisa kurang di suatu tempat. Pengamatan ini menggunakan Global
Position System, yang keakuratannya dapat dipercaya. Hal ini membuktikan sesar
lembang masih aktif.
Daerah Sesar Lembang
Sesar lembang membentang sepanjang
22 kilometer dari Maribaya ke Cisarua. Di Cisarua jejak sesar tersebut
menghilang sedangkan di Maribaya membelok ke selatan. Sesar Maribaya terhubung
dengan sesar Cimandiri dan sesar Baribis yang aktif. Beberapa bangunan yang tepat berada di atas sesar Lembang
antara lain adalah Kampung Dago Pakar, daerah wisata Tahura Juanda,
Observatorium Bosscha, Sesko AU, Sespim Polri, Detasemen Kavaleri TNI-AD, dan
Restoran The Peak. Daerah
lain yang juga dilintasi Sesar Lembang adalah Gunung Palasari, Batunyusun,
Gunung Batu & Gunung Lembang, Cihideung, dan Jambudipa bagian barat. Wilayah-wilayah
tersebut merupakan wilayah pemukiman yang padat dan dapat berpotensi
membahayakan.
Sesar Lembang dan sekitarnya
Peta Sesar Lembang, wisata bumi cekungan bandung
Dampak Aktifnya
Sesar Lembang
Dari daerah yang dilaluinya,
sesar lembang tentu daja mempunyai dampak-dampaknya bila dia aktif atau
bergeser secara tiba-tiba.Getaran akibat
pergerakan berada di bawah tanah. Ini memberikan
pengaruh luas, namun tidak terlalu berbahaya. Namun, ini sangat bergantung pada
tingkat kedalaman getaran. Patahan menyebabkan gempa di permukaan, yang dalam
hal ini bisa merusak rumah. Karena gerakan patahan ini sukar diantisipasi,
seharusnya sepanjang jalur patahan dihindari untuk didirikan rumah hunian, dan
tanah di jalur patahan itu dibebaskan oleh negara.
Menurut Agus,
dengan memperhatikan morfologi yang terbentuk, maka sesar Lembang termasuk
dalam kategori sesar normal. Bagian utara sesar bergerak turun sementara bagian
selatan terangkat. Akibat dari proses tektonis ini, maka terbentang suatu gawir
(lereng) yang merupakan bidang gelincir sesar Lembang. “Sesar lembang
membentang sepanjang 22 kilometer dari Maribaya ke Cisarua. Di Cisarua jejak
sesar tersebut menghilang sedangkan di Maribaya membelok ke selatan. Sesar
Maribaya terhubung dengan sesar Cimandiri dan sesar Baribis yang aktif,” ujar
Agus, dalam Kuliah Umum Sesar Lembang dan Hubungannya Dengan Masyarakat Bandung
di Institut Teknologi Bandung, Jumat 26 Maret 2011.
Sesar Cimandiri adalah sesar yang terletak di Sukabumi Selatan,
membentang dari daerah Pelabuhan Ratu hingga Gandasoli. Sementara
Sesar Baribis adalah sesar yang di berada di bagian utara Jawa, membentang
mulai dari Purwakarta hingga ke daerah Baribis, sebelah barat Gunung Ciremai,
di Kadipaten-Majalengka Jawa Barat. Pada kesempatan yang sama, peneliti Geoteknologi LIPI Eko Yulianto,
membeberkan beberapa bangunan yang tepat berada di atas sesar Lembang. Bangunan-bangunan
itu antara lain Observatorium Bosscha, Sesko AU, Sespim Polri, Detasemen
Kavaleri TNI-AD, dan Restoran The Peak.
Lebih jauh, Agus menjelaskan, beberapa bagian sesar Lembang yang terangkat,
antara lain adalah Gunung Palasari, Batunyusun, Gunung Batu & Gunung
Lembang, Cihideung, The Peak, dan Jambudipa bagian barat. Wilayah-wilayah
tersebut merupakan wilayah pemukiman yang padat dan dapat berpotensi
membahayakan.
Jika terjadi pergerakan di patahan itu, Eko mengatakan, maka akan dapat
memicu gempa bumi dan yang akan mengancam hidup banyak orang.
SESAR (FAULT).
Dan yg menariknya adalah pro-kontra para praktisi ilmu
kebumian yg memperdebatkan apakah sesar ini saat ini aktif apa tidak. Sekedar
catatan untuk orang awam adalah, aktif tidaknya sesar dapat menjadi indikasi
aktivitas kegempaan pada suatu region. Karna apabila sesar lembang aktif,
berarti ada aktivitas pergerakan lempeng pada daerah tersebut yg artinya
memungkinkan wilayah tersebut dapat mengalami gempa.
Sejak jaman sejarah hingga sekarang memang belum ada
catatan gempa bumi besar yang berpusat di sepanjang Sesar Lembang. Namun
demikian dengan menggunakan data empiris, suatu retakan yang telah
terbentuk dengan panjang lebih dari 20 km dapat memicu gempa
dengan magnitude 6,5 – 7,0 yang merusak. Satu catatan yang mungkin
cukup mengkhawatirkan, adanya gempa bumi merusak pada tahun 1910 di
Padalarang, yang boleh dikatakan berada pada zona ujung barat
Sesar Lembang yang bertemu dengan sesar aktif Cimandiri yang berawal
dari Palabuhanratu, Sukabumi. Di dalam Geologi, kategori sesar aktif
mula-mula merujuk kepada
sesar yang terbentuk pada Zaman Kuarter, yaitu rentang waktu dari sekarang
hingga 2 juta tahun yang lalu. Namun akhir-akhir ini
kategori keaktifan sesar dipersempit hingga Kala Holosen, hingga
10.000 tahun yang lalu.
Hasil penelitian yang pernah dilakukan para peneliti
Belanda Nossin, dan kawan-kawan pada 1996 menduga
kemungkinan pergeseran Sesar Lembang, khususnya segmen
timur, bertepatan dengan pembentukan kaldera Sunda 100.000 tahun yang
lalu.
Pendapat ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
penelitian sangat awal yang dilakukan R.W. van Bemmelen yang kemudian
dibukukan dalam “The Geology of Indonesia” yang diterbitkan tahun
1949. Namun untuk segmen barat, penelitian Nossin
dan kawan-kawannya di daerah Panyairan, Cihideung, terhadap endapan
gambut, menunjukkan bahwa segmen barat diperkirakan terakhir aktif
sekitar 27.000 tahun yang lalu. Jika kategorinya 10.000 tahun sebagai
batasan sesar aktif, informasi ini akan membuat Sesar Lembang berkategori
“tidak aktif.” Kemudian muncullah hasil-hasil temuan dari penelitian yang
dilaksanakan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI yang dimotori Eko Yulianto
selama 2007 – 2010.
Eko
Yulianto meneliti keaktifan sesar melalui apa yang disebut sebagai endapan
sag-pond. Sag pond adalah genangan yang terbentuk akibat
terhambatnya drainase sungai yang terjadi akibat pembentukan dinding
penghalang karena pergerakan sesar. Air sungai akan tergenang dan
pembentukan lumpur serta endapan gambut akan terjadi di dalamnya.
Jika endapan-endapan ini terjadi berlapis-lapis di bawah tanah, dapat
diperkirakan bahwa pembentukan genangan terjadi berkali-kali melalui
mekanisme pergerakan sesar. Begitulah apa yang ditemukan Eko Yulianto
dari hasil pengeboran endapan di sekitar Pasir Sereh, Cihideung. Dari temuannya itu, sekalipun dalam data yang masih
terbatas, Eko Yulianto memperkirakan bahwa sedikitnya 1000 tahun yang
lalu, Sesar Lembang pernah aktif. Ketika keaktifannya
membentuk genangan luas,
diperkirakan hal tersebut terbentuk oleh mekanisme pergerakan sesar yang
menimbulkan gempa bumi
berkekuatan tinggi. Informasi ini dengan pasti menunjukkan bahwa Sesar
Lembang tergolong sesar
aktif sekalipun belum ada gempa besar selama masa manusia modern yang
melanda kawasan ini.
Tetapi lebih jauh lagi, hasil penelitian Geodesi
ITB melalui pengamatan titik-titik yang diukur melalui GPS, memang
telah dan sedang terjadi pergeseran di sekitar Sesar Lembang. Sebuah
cetakan citra SPOT pengambilan Juli 2006 sangat jelas menggambarkan citra
udara wilayah sekitar Gunung Tangkubanparahu, Sesar Lembang, dan
dataran Cekungan Bandung. Dari citra itu, interpretasi kelurusan-kelurusan
menunjukkan kemungkinan adanya retakan-retakan yang terbentuk di
permukaan bumi wilayah itu. Kelurusan paling mencolok tentu saja garis
hampir berarah timur-barat, yaitu jalur struktural Sesar Lembang.
Namun selain itu, banyak kelurusan dapat diinterpretasi yang umumnya
juga berarah barat-timur sejajar Sesar Lembang di sekitar Perbukitan Dago
(Bandung Utara), sekitar kota Lembang hingga lereng selatan
jajaran Gunung Burangrang – Gunung Tangkubanparahu – Gunung Bukittunggul.
Hasil interpretasi juga menunjukkan adanya
kemenerusan Sesar Lembang ke arah Ci Meta di barat laut Padalarang. Perkiraan lain, pertemuan Sesar Lembang dengan
Sesar Cimandiri di sekitar Padalarang berupa perpotongan antara
retakan-retakan itu. Apapun kaitan antara fenomena-fenomena geologis itu,
kedua sesar itu mempunyai hubungan yang oleh satu dan sebab lain akan
menjadikan keduanya menjadi media rambat gelombang gempa bumi.
Morfologi Sesar
Lembang segmen timur, dari Gunung Palasari (kiri), Maribaya (tengah) dan Pasir
Lembang, tempat
Observatorium Bosscha berada (kanan).
Kekhawatiran terpicunya gempa bumi besar karena
keberadaan Sesar Lembang sudah mulai diperhitungkan. Selain
sebagai media rambat gelombang gempa bumi dari sesar-sesar aktif
lainnya di Jawa Barat, Sesar Lembang dapat juga menjadi sumber gempa
bumi itu sendiri. Untuk itulah petapeta kerawanan bencana gempa bumi ke
arah Kota Bandung yang berpenduduk padat mulai dibuat. Diantaranya
peta percepatan gelombang gempa bumi yang menunjukkan daerah rawan bencana
selain di sepanjang jalur sesar, juga merambat ke arah
selatan Bandung, pada daerah-daerah bekas endapan danau yang bertanah
fondasi kurang mantap. Peta-peta ini sudah cukup berharga untuk membuat
kita waspada, karena gempa bumi sulit diprediksi!
Ketika kita sulit menentukan kapan datangnya gempa
bumi, maka usaha terbaik adalah bagaimana kita mempersiapkan diri
jika gempa itu benar-benar datang. Itulah usaha mitigasi bencana, yaitu usaha
untuk meminimalkan risiko atau akibat dari bencana. Mitigasi
terbagi ke dalam dua jenis, yaitu secara struktural berupa penataan ruang
atau kode bangunan, dan secara non-struktural berupa pendidikan
dan pelatihan kepada masyarakat bagaimana selamat dari bencana.
Saran-saran arsitek perlu diperhatikan dalam membangun bangunan di kawasan
rawan bencana akibat gempa bumi. Diantaranya adalah tiang yang kuat, struktur yang sederhana, bahan yang
ringan, dan lokasi yang aman (misalnya tidak di tebing atau
pada jalur sesar aktif). Begitulah mitigasi struktural
yang mencakup syarat bangunan dan tata perwilayahan ruangnya.
Pasir Sereh,
Cihideung, Jl. Sersan Bajuri, Lembang, merupakan bidang sesar yang tanahnya
longsor pada akhir 2010 lalu. Lembah di depannya menjadi cekungan sag-pon yang merekam gerakan
sesar di masa lalu.
Hasil sementara
vektor pergeseran di sekitar Sesar Lembang pengukuran dengan GPS antara 2006 –
2010
(Sumber: Slide
Meilano, dkk. 2011 pada Kuliah Umum tentang Sesar Lembang, Great, ITB)
Cekungan Bandung merupakan cekungan
(basin) yang dikelilingi oleh gunung api dengan ketinggian 650 m sampai lebih
dari 2000 meter. Sungai Citarum yang berhulu di gunung Wayang Kabupaten Bandung
(1700 m dpl) melewati dasar cekungan dan mengalir menuju Waduk Saguling,
bermuara di pantai utara Jawa tepatnya di Kabupaten Karawang. Berdasarkan
ciri-ciri litologi, Cekungan Bandung terbagi atas 4 bagian berdasarkan batuan
penyusunnya yaitu: endapan tersier, hasil gunung api tua, hasil gunung api muda
dan endapan danau (Narulita et al., 2008). Untuk penjelasan terhadap geologi
Cekungan Bandung berdasarkan studi pustaka, dapat dijabarkan dalam beberapa sub
bab sebagai berikut:
1. Morfologi
Terkait dengan batas wilayah Cekungan Bandung, terdapat 4
anggapan mengenai batas luas yaitu:
a. Dataran Tinggi Bandung (wilayah administratif Kota Bandung saat ini kecuali kecuali kawasan Kota Bandung utara yaitu sebelah utara jalan raya timur meliputi: Surapati-Cicaheum-Ujungberung-Cileunyi).
a. Dataran Tinggi Bandung (wilayah administratif Kota Bandung saat ini kecuali kecuali kawasan Kota Bandung utara yaitu sebelah utara jalan raya timur meliputi: Surapati-Cicaheum-Ujungberung-Cileunyi).
b. Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu.
c. Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum-Rajamandala (Waduk
Saguling).
d. Batas Administratif Kabupaten Bandung Bagian Barat.
Batasan Cekungan Bandung adalah
daerah yang didasarkan pada sebaran endapan danau Bandung purba yang secara
morfologis membentuk Dataran Danau Bandung dan daerah sekelilingnya yang
merupakan sumber asal endapan danau (Brahmantyo, 2005). Sehingga Cekungan
Bandung adalah cekungan topografi yang membentuk daerah pengaliran Citarum
hingga berakhir di titik aliran Citarum pada daerah perbukitan Rajamandala
(Pasir Kiara-Pasir Larang, berdekatan dengan poros bendungan Saguling).
Definisi batasan Cekungan Bandung ini sesuai dengan anggapan ke-3 yaitu DAS
Citarum-Rajamandala (Waduk Saguling) (Brahmantyo, 2005).
Untuk identifikasi satuan bentang alam, Cekungan Bandung dapat dibagi menjadi beberapa satuan bentang alam (Sampurno, 2004), sebagai berikut:
Untuk identifikasi satuan bentang alam, Cekungan Bandung dapat dibagi menjadi beberapa satuan bentang alam (Sampurno, 2004), sebagai berikut:
Satuan Dataran Danau
Bandung
Satuan Dataran Danau Bandung
berukuran cukup luas dengan ukuran kurang lebih 750 km persegi yang memanjang
ke arah barat-timur, terletak pada ketinggian sekitar 700 m dpl. Luas dataran
ini sekitar 20 persen dari seluruh Cekungan Bandung. Dataran ini merupakan
dataran endapan danau Bandung purba yang telah mengering ribuan tahun yang
lalu. Sungai utama dari dataran ini adalah Citarum yang membelah dataran danau
sehingga Ci Tarum terletak pada titik terendah pada Cekungan Bandung. Di dalam
satuan dataran danau terdapat Dataran Kipas Aluvial yang menempati seperlima
luas Dataran Danau Bandung. Dataran Kipas Aluvial menyebar hingga meliputi
daerah Cimahi-Dago sebagai batas utara menuju Cicaheum dan Buah Batu. Citarum
mengalir di Dataran Danau Bandung dengan pola meander berkelok-kelok khususnya
di sebelah utara Ciparay hingga Curug Jompong (sebelah selatan Cimahi).
b. Satuan Dataran Danau
Bandung
Satuan Kerucut Gunung Api merupakan
pagar yang mengelilingi dataran danau, menempati sekitar 70 persen dari seluruh
luas daerah Cekungan Bandung. Satuan ini terdiri dari badan gunung api
kuarter dengan ketinggian sekitar 2000 m. Di sebelah utara berjajar deretan
gunung api Burangrang, Tangkuban Perahu (2076 m), Bukit Tunggul, Canggak,
Manglayang. Untuk di sebelah timur terdapat kerucut-kerucut gunung api kecil-kecil
antara lain Mandalawangi (1650 m), Mandalagiri, Gandapura dan lain sebagainya.
Bagian selatan terdapat dataran danau berjajar gunung api Malabar (2343 m),
Patuha (2434 m) dan lain sebagainya. Diantara gunung-gunung api tersebut masih
banyak ditemui endapan-endapan vulkanik seperti breksi vulkanik, tufa, beberapa
lidah-lidah lava. Tufa di daerah Lembang dan Dago kaya akan batu apung dan
bersifat tras. Ke arah Satuan Dataran Danau, kerucut gunung api menjadi
melandai membentuk kaki gunung api dimana kemiringan lahannya berkisar 5 hingga
15 persen.
c. Satuan Pematang
Homoklin
Satuan Pematang Homoklin adalah
perbukitan memanjang yang membentuk daerah perbukitan Rajamandala-Padalarang,
memanjang kurang lebih dengan arah timur timur laut- barat barat daya. Kedudukan
satuan ini berada di dinding barat dari Cekungan Bandung dimana terdapat celah
aliran Ci Tarum yang membelah perbukitan. Memiliki ketinggian sekitar 800-1000
m dpl dan seluas kurang lebih 7 persen dari luas total Cekungan Bandung.
Pematang Homoklin menunjukkan bahwa lereng sebelah utara lebih terjal sekitar
kurang lebih 30-140 persen dibandingkan daerah lereng sebelah selatan. Lereng
selatan memiliki kemiringan lapisan pembentuknya sekitar rata-rata 30-60
persen. Ci Tarum menyusuri daerah di sebelah selatan perbukitan Rajamandala.
Batuan-batuan pembentuknya adalah berbagai batuan sedimen marin tersier dari
berbagai formasi antara lain batu gamping dan batu lempung.
d. Satuan Perbukitan
Isolasi
Di dalam satuan dataran danau
bermunculan bukit-bukit yang terpisah satu sama lain atau berkelompok menjadi
jajaran perbukitan. Bukit-bukit tersebut dikelompokkan menjadi suatu Satuan
Perbukitan Terisolasi yang terdapat di sebelah selatan Cimahi dan Dayeuhkolot
dan berketinggian sekitar 800-900 m. Bukit-bukit tersebut antara lain Gunung
Bohong (878 m), Gunung Pangaten, Gunung Koromong, Gunung Geulis dan lain
sebagainya. Sungai-sungai yang berada di kaki perbukitan kerucut gunung api
maupun yang berada di dataran danau mengandung berbagai jenis pasir untuk bahan
bangunan.
2. Geologi dan
Sifat-Sifat Fisik Batuan
Litologi penyusun wadah dan isi
Cekungan Bandung adalah batuan gunung api yang secara stratigrafi kegiatan
vulkanismenya sudah dimulai sejak Kala Paleosen. Berdasarkan Bronto and Hartono
(2006), kemungkinan pembentukan Cekungan Bandung disebabkan oleh 4 hal:
1. Merupakan cekungan antar gunung (intra-mountain basin), sebagai bentukan utamanya adalah eksogen.
2. Merupakan graben, sebagai bentukan murni deformasi tektonika.
3. Merupakan kaldera, sebagai bentukan murni letusan gunung api.
4.Merupakan volcano-tectonic calderas, sebagai hasil perpaduan proses tektonika dan vulkanisme.
Cekungan Bandung terdiri atas berbagai formasi morfologi yang terdiri atas berbagai batuan berumur Oligosen hingga Resen. Batuan-batuan tersebut dikelompokkan dalam beberapa formasi (Sampurno, 2004 dan Hutasoit, 2009), sebagai berikut:
1. Merupakan cekungan antar gunung (intra-mountain basin), sebagai bentukan utamanya adalah eksogen.
2. Merupakan graben, sebagai bentukan murni deformasi tektonika.
3. Merupakan kaldera, sebagai bentukan murni letusan gunung api.
4.Merupakan volcano-tectonic calderas, sebagai hasil perpaduan proses tektonika dan vulkanisme.
Cekungan Bandung terdiri atas berbagai formasi morfologi yang terdiri atas berbagai batuan berumur Oligosen hingga Resen. Batuan-batuan tersebut dikelompokkan dalam beberapa formasi (Sampurno, 2004 dan Hutasoit, 2009), sebagai berikut:
Formasi Cibeureum
Merupakan lapisan aquifer utama
dengan sebaran berbentuk kipas yang bersumber dari Gunung Tangkubanparahu.
Formasi ini terutama terdiri atas perulangan breksi dan tuf dengan tingkat
konsolidasi rendah serta beberapa sisipan lava basal, dengan umur Plistosen
Akhir-Holosen. Breksi dalam formasi ini adalah breksi vulkanik yang disusun
oleh fragmen-fragmen skoria batuan beku andesit basal dan batu apung.
Formasi Kosambi
Nama Formasi Kosambi diusulkan oleh
Koesoemadinata dan Hartono (1981) untuk menggantikan nama Endapan Danau yang
digunakan oleh Silitonga (1973). Sebaran formasi ini dipermukaan adalah di
bagian tengah. Litologinya terutama terdiri atas batu lempung, batu lanau dan
batu pasir yang belum kompak dengan umur Holosen. Formasi ini mempunyai
hubungan menjemari dengan Formasi Cibeureum bagian atas. Berdasarkan sifat
litologinya, formasi ini berperan sebagai akuintar di kawasan Cekungan Bandung.
Formasi Cikapundung
Formasi ini adalah satuan batuan
tertua yang tersingkap di daerah penelitian (Koesoemadinata dan Hartono, 1981)
dan terdiri atas konglomerat dan breksi kompak, tuf dan lava andesit. Umur
formasi ini diperkirakan Plistosen Awal.
Kekompakan litologi penyusun formasi
ini dapat digunakan sebagai salah satu pembeda dengan formasi Cibeureum serta
dasar untuk menentukan peran formasi ini sebagai batuan dasar hidrogeologi di
kawasan Cekungan Bandung. Menurut Silitonga (1973) formasi ini adalah ekuivalen
dengan Qvu. Selain formasi ini, berdasarkan sifat litologinya Qvl, Qvb, Qob,
dan Qyl dapat dimasukkan sebagai batuan dasar. Satuan-satuan lain yang
membentuk batuan dasar adalah batuan gunung api Kuarter (kecuali Formasi Cibeureum
dan Formasi Cikapundung), batuan gunung api Tersier, batuan sedimen Tersier,
dan batuan terobosan yang tercakup didalam peta geologi.
c. Endapan Batuan
Vulkanik (Kuarter)
Berbagai endapan gunung api dapat
dipisahkan antara lain berdasarkan umur maupun komposisi. Umumnya terdiri dari
breksi vulkanik, tufa, lidah-lidah lava, endapan lahar dan aglomerat. Tufa dari
Gunung Tangkuban Perahu yang menyebar hingga Lembang, beberapa tempat di Dago,
dan Kipas Aluvial Bandung utara, sebagian besar mengandung batu apung yang
bersifat berpori dan permeabel. Tufa yang membentuk daerah Gunung Burangrang,
Gunung Sunda, Gunung Bukit Tunggul, Gunung Canggak dan perbukitan Dago Utara
hingga Maribaya terdiri atas breksi vulkanik berselingan dengan endapan lahar,
tufa halus dan lidah-lidah lava. Sifat batuan umumnya sedikit kompak daripada
tufa berbatu apung tetapi masih cukup permeabel. Lapisan endapan vulkanik di
sebelah utara umumnya menunjukkan kemiringan ke arah selatan sekitar 5-7
derajat. Pada permukaannya, endapan vulkanik menunjukkan tanah hasil pelapukan
yang bersifat gembur dan mudah terkikis tetapi subur.
d. Endapan Danau Purba
Terdiri dari lapisan-lapisan kerakal,
batu pasir, batu lempung, tersemen, lemah, gembur dan terkadang kenyal.
Beberapa lapisan bersifat permeabel dan menjadi akifer yang baik. Beberapa
lapisan lain bersifat lembek, organik dan mempunyai daya dukung rendah dan air
tanah yang dikandungnya dapat bersifat agak asam atau berbau sulfur. Kedudukan
lapisan umumnya horisontal dengan hubungan antar lapisan kadang-kadang
berbentuk silang jari.
e. Endapan Aluvial
Terdiri dari kerikil, pasir, lanau
dari endapan sungai atau endapan banjir pada umumnya bersifat lepas sampai
tersemen lemah, atau plastis bahkan dapat bersifat mengalir bila jenuh air.
Pasir lepas dan kerakal endapan sungai masih mengandung cukup banyak lumpur.
Sebagai gambaran dari kondisi geologi kawasan Cekungan
Bandung, dapat dilihat pada gambar 1, sebagai berikut:
Sumber
Referensi:
Brahmantyo,
2004. Mencari Delineasi Geomorfologi Cekungan Bandung. Departemen Pekerjaan
Umum: Jakarta
Brahmantyo, 2005. Geologi Cekungan Bandung. Diktat Kuliah. Institut Teknologi Bandung: Bandung
Hutasoit, 2009. Kondisi Permukaan Air Tanah Dengan Dan Tanpa Peresapan Buatan Di Daerah Bandung: Hasil Simulasi Numerik. Jurnal Geologi Indonesia: Bandung
Brahmantyo, 2005. Geologi Cekungan Bandung. Diktat Kuliah. Institut Teknologi Bandung: Bandung
Hutasoit, 2009. Kondisi Permukaan Air Tanah Dengan Dan Tanpa Peresapan Buatan Di Daerah Bandung: Hasil Simulasi Numerik. Jurnal Geologi Indonesia: Bandung
Sejarah Bandung
Gunung Sunda Purba
Berdasarkan
penelitian dan ditenggarai ditemukannya bukti-bukti alam terbentuknya
daratan Bandung purba yang
sangat berharga. Di antaranya kars (batu kapur) di Citatah,
Padalarang, Kab. Bandung Barat, sebagai bukti daerah itu pada zaman
Miosen awal (23 – 17 juta tahun lalu) pantai utara (pantura) ada
di sana. Kini kawasan itu dikenal antara lain dengan Karangpanganten,
Karanghawu, Pasir (Bukit Pabeasan), dll.
Bandung kota dan
sekitarnya, pada masa lampau merupakan danau yang dikenal dengan Danau Bandung. Keadaan yang sekarang
terlihat merupakan pedataran yang biasa disebut dengan istilah “Cekungan
Bandung” (BandungBasin). Daerah sekitar cekungan tersebut, diperkirakan dahulu
merupakan tepian danau sehingga banyak diperoleh sisa-sisa aktivitas manusia
masa lampau (Koesoemadinata, 2001).
Van Bemmelen, 1935, meneliti sejarah
geologi Bandung. Pengamatan dilakukan terhadap singkapan batuan dan bentuk
morfologi dari gunung api-gunung api di sekitar Bandung. Penelitian yang
dilakukan berhasil mengetahui bahwa danau Bandung terbentuk karena
pembendungan Sungai Citarum purba. Pembendungan ini disebabkan oleh pengaliran
debu gunung api masal dari letusan dasyat Gunung Tangkuban Parahu yang didahului
oleh runtuhnya Gunung Sunda Purba di sebelah baratlaut Bandung dan pembentukan
kaldera di mana di dalamnya Gunung Tangkuban Parahu tumbuh. Van Bemmelen
secara rinci menjelaskan, sejarah geologi Bandung dimulai pada zaman
Miosen (sekitar 20 juta tahun yang lalu). Saat itu
daerah Bandung utara merupakan laut, terbukti dengan banyaknya fosil
koral yang membentuk terumbu karang sepanjang punggungan bukit Rajamandala.
Kondisi sekarang, terumbu tersebut menjadi batukapur dan ditambang sebagai marmer
yang berpolakan fauna purba.
Bukit pegunungan
api diyakini masih berada di daerah sekitar Pegunungan Selatan Jawa. Sekitar 14
juta sampai 2 juta tahun yang lalu, laut diangkat secara tektonik dan menjadi
daerah pegunungan yang kemudian 4 juta tahun yang lalu dilanda dengan aktivitas
gunung api yang menghasilkan bukit-bukit yang menjurus utara selatan antara
Bandung dan Cimahi, antara lain Pasir Selacau. Pada 2 juta tahun yang lalu
aktivitas vulkanik ini bergeser ke utara dan membentuk gunung api purba yang
dinamai Gunung Sunda, yang
diperkirakan mencapai ketinggian sekitar 3000 m di atas permukaaan air laut.
Sisa gunung purba raksasa ini sekarang adalah punggung bukit.
Sekitar Situ
Lembang (salah satu kerucut sampingan sekarang disebut Gunung Sunda) dan Gunung
Burangrang diyakini sebagai salah satu kerucut sampingan dari Gunung Sunda
Purba ini. Sisa lain dari lereng Gunung Sunda Purba ini terdapat di sebelah
utara Bandung, khususnya sebelah timur Sungai Cikapundung sampai Gunung
Malangyang, yang oleh van Bemmelen (1935, 1949) disebut sebagai Blok
Pulasari. Pada lereng ini terutama ditemukan situs-situs artefak, yang diteliti
lebih lanjut oleh Rothpletz pada zaman Jepang dan pendudukan Belanda di Masa
Perang Kemerdekaaan. Sisa lain dari Gunung Sunda Purba ini adalah Bukit Putri
di sebelah timur laut Lembang (Koesoemadinata, 2001).
Gunung Sunda Purba itu kemudian runtuh, dan
membentuk suatu kaldera (kawah besar yang berukuran 5-10 km) yang ditengahnya
lahir Gunung Tangkuban Parahu, yang disebutnya dari Erupsi A dari Tangkuban
Parahu, bersamaan pula dengan terjadinya patahan Lembang sampai Gunung
Malangyang, dan memisahkan dataran tinggi Lembang dari dataran tinggi Bandung.
Kejadian ini diperkirakan van Bemmelen (1949) terjadi sekitar 11.000 tahun yang
lalu.
Suatu erupsi cataclysmic
kedua terjadi sekitar 6000 tahun
yang lalu berupa suatu banjir abu panas yang melanda bagian utara
Bandung (lereng Gunung Sunda Purba) sebelah barat Sungai Cikapundung sampai
sekitar Padalarang di mana Sungai Citarum Purba mengalir ke luar dataran tinggi
Bandung. Banjir abu vulkanik ini menyebabkan terbendungnya Sungai Citarum
Purba, dan terbentuklah Danau Bandung.
Tahun 90-an, Dam dan Suparan (1992) dari
Direktorat Tata Lingkungan Departemen Pertambangan mengungkapkan sejarah
geologi dataran tinggi Bandung. Penelitian ini menggunakan teknologi
canggih seperti metoda penanggalan pentarikhan radiometri dengan isotop C-14
dan metode U/Th disequilibirum. Dam melakukan pengamatan terhadap perlapisan
endapan sedimen Danau Bandung dari 2 lubang bor masing-masing sedalam 60 m di
Bojongsoang (Kabupaten Bandung) dan sedalam 104 m di Sukamanah (Kabupaten
Bandung); melakukan pentarikhan dengan metoda isotop C-14 dan 1 metoda U/Th
disequilibirum; dan pengamatan singkap dan bentuk morfologi di sekitar Bandung.
Berbeda dengan Sunardi (1997) yang mendasarkan penelitiannnya atas pengamatan
paleomagnetisme dan pentarikhan radiometri dengan metode K-Ar.
Simpulan penting
adalah bahwa pentarikhan kejadian-kejadian ini jauh lebih tua daripada
diperkirakan oleh van Bemmelen (1949), kecuali periode pembentukanGunung Sunda Purba serta
kejadian-kejadian sebelumnya. Keberadaan danau purba Bandung dapat
dipastikan, bahkan turun naiknya muka air danau, pergantian iklim serta jenis
floranya dapat direkam lebih baik (van der Krass dan Dam, 1994).
Hasil yang
diperoleh, pembentukan danau
Bandung bukan disebabkan oleh suatu peristiwa ledakan Gunung Sunda
atau Tangkuban Parahu, tetapi mungkin karena penurunan tektonik dan peristiwa
denudasi dan terjadi pada 125 KA (kilo-annum/ribu tahun) yang lalu (Dam et al,
1996).
Keberadaan Gunung
Sunda Purba dipastikan antara 2 juta sampai 100 juta tahun yang lalu
berdasarkan pentarikhan batuan beku aliran lava, antara lain di Batunyusun
timur laut Dago Pakar di Pulasari Schol (1200 juta tahun), Batugantung Lembang
506 kA (ribu tahun) dan di Maribaya (182 dan 222 kA). Memang suatu erupsi besar
kataklismik (cataclysmic) terjadi pada 105 ribu tahun yang lalu, berupa erupsi Plinian yang
menghasilkan aliran besar dari debu panas yang melanda bagian baratlaut Bandung
dan membentuk penghalang topografi yang baru di Padalarang (Kabupaten Bandung
Barat), yang mempertajam pembentukan danau Bandung. Erupsi besar ini diikuti
dengan pembentukan kaldera atau runtuhnya Gunung Sunda yang diikuti lahirnya
Gunung Tangkuban Parahu beberapa ratus atau ribu kemudian, yang menghasilkan
aliran lava di Curug Panganten (Kota CImahi) 62 ribu tahun yang lalu, sedangkan
sedimentasi di danau Bandung berjalan terus.
Suatu ledakan
gunung api cataclysmic kedua terjadi antara 55 dan 50 ribu tahun yang lalu,
juga berupa erupsi Plinian dan melanda Bandung barat laut, sedangkan
aliran-aliran lava di Curug Dago dan Kasomalang (Subang), terjadi masing-masing
41 dan 39 ribu tahun yang lalu. Sementara itu, sedimentasi di Danau Bandung
berjalan terus, antara lain pembentukan suatu kipas delta purba yang kini
ditempati oleh Kota Bandung pada permukaan danau tertinggi. Akhir dari Danau
Bandung pun dapat ditentukan pentarikhannya yaitu
16 ribu tahun yang lalu.
Sejarah
Geologi dan Geomorfologi
Bandung
Utara
Disusun oleh :
1.
Desy inayati
3201411003
2.
Prasifita F K
3201411014
3.
Desty A K 3201411015
4.
Teta Pradini A
3201411016
5.
Ika Yunita 3201411023
6.
Ekananda 3201411026
7.
Delia Ekky C 3201411027
8.
Sigit bayhu I
3201411028
9.
Elvita S 32014110
10. Ulfatun N 32014110
11. Oktaviani R 32014110
12. Arifianti H 32014110
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar